Welcome...

um.. saya membuat blog ini untuk share pengetahuan yang saya petik dari internet dan buku, semoga bermanfaat bagi anda ^^

Jumat, 29 Juli 2011

Candi Sewu

Candi Sewu
Candi Sewu adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara candi Prambanan. Candi Sewu merupakan komplek candi Buddha terbesar kedua setelah candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada candi Prambanan. Meskipun aslinya terdapat 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan Candi "Sewu" yang berarti "seribu" dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.

Sejarah

Berdasarkan prasasti yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli bangunan ini adalah “Manjus’ri grha” (Rumah Manjusri). Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746 – 784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno. Kompleks candi ini mungkin dipugar, diperluas, dan rampung pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting di masa lalu. Candi ini terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng selatan gunung Merapi di utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat Jawa kuno.
Candi ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan paling parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.

Kompleks candi

Kompleks candi Sewu adalah kumpulan candi buddha terbesar di kawasan sekitar Prambanan, dengan bentang ukuran lahan 185 meter utara-selatan dan 165 meter timur-barat. Pintu masuk kompleks dapat ditemukan di keempat penjuru mata angin, tetapi mencermati susunan bangunannya, diketahui pintu utama terletak di sisi timur. Tiap pintu masuk dikawal oleh sepasang arca Dwarapala. Arca raksasa penjaga berukuran tinggi sekitar 2 meter ini dalam kondisi yang cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta.
Aslinya terdapat 249 bangunan candi di kompleks ini yang disusun membentuk mandala, perwujudan alam semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana. Selain satu candi utama yang terbesar, pada bentangan poros tengah, utara-selatan dan timur-barat, pada jarak 200 meter satu sama lain, antara baris ke-2 dan ke-3 candi Perwara (pengawal) kecil terdapat 8 Candi Penjuru atau disebut juga Candi Perwara Utama, candi-candi ini ukurannya kedua terbesar setelah candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata angin terdapat masing-masing sepasang candi penjuru yang saling berhadapan, tetapi kini hanya candi penjuru kembar timur dan satu candi penjuru utara yang masih utuh.
Candi perwara (pengawal) yang berukuran lebih kecil aslinya terdiri atas 240 buah dengan disain yang hampir serupa dan tersusun atas empat barisan yang konsentris. Dilihat dari bagian terdalam (tengah), baris pertama terdiri atas 28 candi, dan baris kedua terdiri atas 44 candi yang tersusun dengan interval jarak tertentu. Dua barisan terluar, baris ketiga terdiri dari 80 candi, sedangkan baris keempat yang terluar terdiri atas 88 candi-candi kecil yang disusun berdekatan. Beberapa candi perwara ini telah dipugar dan berdiri, sedangkan sebagian besar lainnya masih berupa batu-batu berserakan.
Dari keempat baris candi perwara ini, baris keempat (terluar) memiliki rancang bentuk yang serupa dengan baris pertama (terdalam), yaitu pada bagian penampang gawang pintunya, sedangkan baris kedua dan ketiga memiliki rancang bentuk yang lebih tinggi dengan gawang pintu yang berbeda. Banyak patung dan ornamen yang telah hilang dan susunannya telah berubah. Arca-arca buddha yang dulu mengisi candi-candi ini mengkin serupa dengan arca buddha di Borobudur.
Candi-candi yang lebih kecil ini mengelilingi candi utama yang paling besar tapi beberapa bagiannya sudah tidak utuh lagi. Di balik barisan ke-4 candi kecil terdapat pelataran beralas batu dan ditengahnya berdiri candi utama.


Candi utama

Candi utama memiliki denah poligon bersudut 20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29 meter dan tinggi bangunan mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin terdapat struktur bangunan yang menjorok ke luar, masing-masing dengan tangga dan ruangan tersendiri dan dimahkotai susunan stupa. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Ruangan di empat penjuru mata angin ini saling terhubungkan oleh galeri sudut berpagar langkan. Berdasarkan temuan pada saat pemugaran, diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama berkamar tunggal. Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur tambahan di sekelilingnya. Pintu dibuat untuk menghubungkan bangunan tambahan dengan candi utama dan menciptakan bangunan candi utama dengan lima ruang. Ruangan utama di tengah lebih besar dengan atap yang lebih tinggi, dan dapat dimasuki melalui ruang timur. Kini tidak terdapat patung di kelima ruangan ini.. Akan tetapi berdasarkan adanya landasan atau singgasana batu berukir teratai di ruangan utama, diduga dahulu dalam ruangan ini terdapat arca buddha dari bahan perunggu yang tingginya mencapai 4 meter. Akan tetapi kini arca itu telah hilang, mungkin telah dijarah untuk mengambil logamnya sejak berabad-abad lalu.

Candi Brahu

Candi Sewu

Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Buddha, didirikan abad 15 Masehi. Pendapat lain, candi ini berusia jauh lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan. Menurut buku Bagus Arwana, kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari candi brahu. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok pada tahun 861 Saka atau 9 September 939.

Cirri-cirinya:
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
Candi Brahu merupakan bangunan candi dalam pengertian yang sebenar-nya. Umumnya candi terdiri dari tiga bagian, yakni : kaki candi yaitu bagian bawah, merupakan gambaran kehidupan. Tubuh candi yaitu bagian tengah, sebagai tempat untuk bertobat. Atap atau mahkota candi yaitu bagian atas, sebagai tempat yang suci untuk bersemayam roh. Bagian atap candi Brahu telah runtuh, dduga dulu berbentuk piramidal. Keseluruhan bangunan terbuat dari bata merah dan masih dalam keadaan polos. Bentuk bangunan hampir bujur sangkar, dengan ukuran 18,50 x 20 meter dan tinggi 17,21 meter. Pada keempat sisinya terdapat bagian-bagian yang menjorok keluar yang disebut penampil. Penampil depan nampak lebih panjang dari penampil belakang-nya. Pada sisi barat terdapat bagian yang menjorok ke dalam yang menuju ke bilik candi. Bagian ini merupakan tangga masuk ke bilik candi. Di bilik candi ada bekas altar atau meja sesaji.

Candi Brahu tidak berdiri sendiri, disekitarnya terdapat bangunan candi-candi lain, yaitu candi Gentong, candi Gedong dan candi Tengah. Di antara ketiga candi itu, hanya candi Gentong yang masih terlihat sisa-sisanya, dan terletak di sebelah timur candi Brahu. Di sekitar candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain :
* benda-benda dari emas dan perak.
* 6 buah arca yang bersifat agama Budha.
* piring perak yang bagian bawah bertuliskan kuno.
* 4 lempeng prasati tembaga dari jaman sindhok.

Bangunan candi Brahu diduga bersifat Budhistis, ada dugaan dibangun sejak awal Majapahit, tetapi ada pula yang menduga dari abad XV. Sebagian bangunan telah dikonsolidasi. Ada kepercayaan, bahwa candi Brahu ini pernah digunakan untuk memperabukan/ membakar raja Brawijaya I sampai IV. Namun dalam penelitian belum pernah ditemukan adanya bekas-bekas abu mayat.

Candi Sumber Awan

Candi Sumberawan

Candi Sumberawan terletak di desa Toyomarto, kecamatan Singosari, kabupaten Malang, +/- 6km barat laut Candi Singosari.

Candi ini terbuat dari batuan Andesit dengan dimensi panjang 6,25 meter, lebar 6,25 meter, dan tinggi 5,23 meter di ketinggian 650 mdpl di kaki gunung Arjuna.
Candi Sumber Awan disebut juga candi rawan karena terletak di tepi rawa dengan mata air yang selalu mengalir sepanjang tahun.

Karena bangunan Stupa Sumberawan ini bentuknya menyerupai genta, maka salahlah kalau disebut candi.

Menurut Empu Prapanca, stupa ini pernah dikunjungi raja Hayam Wuruk pada tahun 1359, karena disekitarnya pun terdapat banyak kolam teratai dan terkenal dengan nama Kasuranggahan yang berarti Taman Bidadari.

Inilah mungkin sekali Sumberawan, karena letaknya yang ditengah hutan kecil, di lereng gunung Arjuno, dikelilingi kolam dan nampak indah sekali. Stupa, yang tingginya 2,23 Meter ini terletak kira-kira 8 Km jauhnya dari Singosari atau tepatnya di Desa Toyomarto.
Pertama kali ditemukan tahun 1904 dan dipugar pada tahun 1937 dan merupakan satu-satunya stupa candi yang ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik karena tidak mempunyai ruang dan polos tidak mempunyai relief.

Pada batur candi terdapat selasar, kakinya memiliki penampil pada keempat sisinya. Stupa terdiri atas lapik bujur sangkar dan segi delapan dengan bantalan Padma sedangkan bagian teratas berupa genta yang puncaknya tidak diketemukan.

Konon, karena sulitnya menemukan bentuk asli candi tersebut bagian puncaknya terpaksa tidak dipasang kembali. Kuat dugaan bagian atas candi berupa Chattra (payung), karena tidak ditemukan sisa sama sekali pada saat penggalian.

Kiranya candi ini didirikan untuk pemujaan dengan nama kasurangganan. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359 Masehi sewaktu mengadakan perjalanan keliling.Dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupa) dapat diperkirakan bahwa bangunan candi didirikan sekitar abad ke-14 hingga 15 Masehi, yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupanya menunjukkan latar belakan Budhistis, mirip stupa candi Borobudur. 

Untuk menuju ke candi Sumberawan selain menggunakan kendaraan pribadi, dari candi Singosari kita bisa naik Ojek langsung ke lokasi candi atau angkutan KSL hingga stanplat Sumberawan dilanjutkan ojek hingga lokasi Candi. Candi ini tidak terletak di pinggir jalan, sehingga begitu sampai di lokasi parkir, kita harus berjalan menyusuri jalan setapak lebih kurang 400 meter. Perjalanan menuju candi tidak terasa melelahkan karena pemandangan lereng gunung Arjuna sangat indah serta udaranya yang sejuk. Hamparan sawah dan aliran air sungai gemericik mengiringi perjalanan kita sampai ke bangunan Candi.

Cirri-cirinya:
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.

Candi Batujaya

Candi Jiwa
Situs Batujaya merupakan kompleks candi yang menempati areal seluas 40 ha, meliputi dua desa, yaitu Segaran dan Telagajaya di Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang. Dari kota Karawang, kompleks candi tersebut brejarak 39 kilometer ke arah barat Kota Karawang, sekitar 6 km dari garis pantai utara.
Saat ini, kompleks Candi Batujaya merupakan areal persawahan dan pemukiman penduduk. Sebagian besar bangunan purbakala di lokasi tersebut masih tertimbun dalam ‘unur’ atau ‘lemah duwur’ (tanah darat menyembul diantara pesawahan). Sampai dengan pertengahan tahun 2004 ini, penggalian dan penelitian di kompleks percandian di Batujaya masih terus berlangsung di bawah pengawasan Tim Peneliti Situs Batujaya dari Universitas Indonesia.
Sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya ini dibangun, karena data yang telah didapatkan mengenai situs purbakala ini sangat sedikit. Rekonstruksi bangunanan candi juga sulit dilakukan karena candi-candi Batujaya terbuat dari batu bata. Upaya para arkeolog untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu terhambat oleh ketidaktersediaan dana. Bantuan dana yang pernah didapat untuk penelitian dan penggalian kompleks Batujaya ialah dari PT Ford Motor Indonesia, yang diberikan pada tahun 2003.
Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara.
Di antara situs yang sudah selesai digali dan diteliti oleh para ahli purbakala adalah situs Candi Jiwa dan Situs Candi Blandongan yang jaraknya tidak terlalu berjauhan. Data yang didapat mengenai Candi Blandongan adalah bahwa panjangnya 21,6 m dan bahwa bangunan itu menghadap barat laut. Bentuk bentuk dan strukturnya belum diketahui. Fungsi Candi Blandongan juga belum dapat dipastikan, walaupun dalam bahasa setempat, kata ‘blandongan’ berarti pendapa atau bangunan besar untuk pertemuan atau menerima tamu. Berdasarkan bentuk bangunan stupa yang ditemukan di desa Segaran Telagajaya, diduga kompleks percandian Batujaya berlatar belakang agama Buddha.
Penelitian
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atauunur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.

Sampai pada penelitian tahun2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.

Candi Jiwa
Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.

Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya.  

Candi Blandongan
Nama Blandongan diambil dari dialek setempat yang identik dengan pendopo atau bangunan besar untuk pertemuan atau menerima tamu, dikarenakan lokasi candi tersebut berada sering dijadikan tempat peristirahatan seusai menggembalakan ternak. Candi ini memiliki bentuk bujur sangkar berukuran 24,2 x 24,2 meter. Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap candi Blandongan, diambil kesimpulan bahwa Candi Blandongan adalah candi utama dari kompleks candi-candi tersebut. 

Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan ukuran candi dan adanya pintu masuk pada  ke-empat sisi candi dengan masing-masing sisi tersebut terletak disudut Tenggara, Barat Daya, Timur Laut dan Barat Laut dari mata angin. Pintu-pintu tersebut diperkirakan merupakan akses masuk ke bagian tengah candi untuk melakukan upacara keagaaman atau meletakkan sesaji. Lubang silinder berdiameter kira-kira setengah meter yang terletak pada bagian muka dari pintu masuk, diperkirakan dulunya merupakan tiang penyangga untuk bagian atas atau sebagai gapura. 

Dari sisa-sisa reruntuhan bisa dibagi menjadi tiga jenis bahan penyusun candi, yakni batu andesit digunakan pada beberapa bagian di bawah candi, batu bata yang merupakan bahan dominan, digunakan untuk membangun badan candi, sedangkan batu-batuan kecil yang direkatkan dengan lapisan putih diunakan untuk ornamen atap candi. Lapisan putih yang tampak seperti kapur itu, menurut para arkeologi diperkirakan dibentuk dari serpihan kerang. Dengan adanya bahan-bahan penyusun tersebut, pada jaman dulu tentunya candi ini amatlah megah, namun sayang sekali tidak ada literatur yang bisa dijadikan pedoman seperti apa bagian atas dari candi Blandongan ini.

Candi Banyunibo

Candi Banyunibo berada di sekitar komplek reruntuhan Kraton Ratu Boko, tepatnya di dataran rendah di Dusun Cepit, Bokoharjo, Prambanan. Setelah mengunjungi Ratu Boko, Anda dapat dengan mudah menemukan candi ini. Terletak kurang lebih 2 kilometer sebelah barat daya dari Ratu Boko. Lokasinya terlihat menyendiri di antara kawasan pertanian dengan latar belakang bukit Gunung Kidul di arah selatan.

Dibangun sejak abad ke-9, bangunan candi terdiri atas satu candi induk yang menghadap ke barat dan enam candi perwara berbentuk stupa yang disusun berderet di selatan dan timur candi induk. Ukuran masing-masing fondasi stupa hampir sama, yaitu 4,80 x 4,80 meter.
Di sebelah utara candi induk, terdapat tembok batu sepanjang kurang lebih 65 meter yang membujur arah barat timur. Berdasarkan bentuk atap candi induk dan bentuk candi perwara yang berupa stupa, maka latar belakang keagamaan Candi Banyunibo adalah Buddha.
Candi induk berukuran 15,325 x 14,25 meter dengan tinggi 14,25 meter. Tubuh candi berukuran lebih kecil dari kakinya, sehingga di sekeliling tubuh terbentuk lorong yang disebut selasar. Di sisi barat candi terdapat penampil dengan tangga di tengahnya, berfungsi sebagai jalan masuk atau pintu menuju bilik candi.
Pada dinding penampil sebelah kanan terdapat relief seorang wanita yang dikerumuni anak-anak, sedangkan relief di dinding kiri menggambarkan seorang pria dalam posisi duduk. Kedua relief tersebut menggambarkan Hariti, dewi kesuburan dalam agama Buddha dan suaminya, Vaisaravana.
Pada dinding luar tubuh candi terdapat arca Boddhisatva. Pada dinding bilik sisi utara, timur, dan selatan terdapat relung-relung yang menonjol dan berbingkai dengan hiasan bebentuk kala-makara untuk menempatkan arca.
Candi Banyu Nibo yang berarti “air menetes” ini merupakan peninggalan dari abad ke 9. menilik letaknya yang terpencil di tengah persawahan dan rumpun pisang, jauh dari kelompok candi-candi Budha yang lain, menyebabkan sementara orang menyebutnya “si Sebatangkara Banu Nibo”.

Dilihat sepintas tentunya akan disimpulkan bahwa candi ini sebagai candi Budha, namun setelah diperhatikan unsur yang lain akan kita dapatkan unsur Hindu di sini berupa banyaknya arca nandi yang diletakkan sepanjang jalan ke arah pos penjagaan. Menurut saya, candi ini difungsikan lebih dari sebuah candi dengan latar belakang agama tertentu, karena antara agama Budha dan Hindu telah sama-sama menggunakan tempat ini dengan maksud yang sama, dengan kejadian tersebut menurut saya sepertinya ada satu hal yang mendasar untuk melakukan hal tersebut yaitu keyakinan nenek moyang sebelumnya, jika di bebarapa catatan terdapat banyak pendheta dari pulau/negara lain yang belajar agama Budha dan Hindu yang tumbuh baik di Jawa, namun dibalik dari kedua agama tersebut kepercayaan dari manusia Jawa tidak hilang begitu saja, tapi membaur berasimilasi dengan agama yang datang, mungkin pada masa lalu orang jawa telah memiliki pendapat bahwa pada dasarnya agama itu baik, maka kebaikan yang baru diterima masuk sesuai masanya tanpa menghilangkan sifat ke Jawa an itu sendiri. Sifat inilah yang memberikan catatan bahwa dari dahulu di Jawa tidak ada perselisihan kekuasaan berdasarkan keyakinan, adanya suksesi antar raja Jawa atau antar wangsa dikarenakan perebutan  tampuk pimpinan untuk mencatatkan diri/keturunannya dalam memuliakan tanah Jawa.

 Melihat kapan atau atau oleh siapa pembuat candi ini ketika saya browsing tidak banyak diungkapkan, namun jika dilihat dari gaya bangunan dan eliefnya yang bercirikan Budha, sepertinya candi ini dibangun oleh salah satu raja dari wangsa Syailendra sebelum atau oleh Samaratungga, sebab jika candi ini dibangun oleh wangsa Sanjaya tentunya gaya arsitektur candi ini bergaya Hindu. Kemungkinan-kemungkinan pembangunan oleh Samaratungga atau raja sebelumnya saya rasa masih relevan, hanya saja jika pembangunannya oleh Samaratungga maka pada saat itu dirinya memiliki proyek ambisius karena kita ketahui pada saat Samaratungga berkuasa, Sambhara Budhura(candi borobudur) juga sedang dalam proses pembangunan, sementara raja sebelum Samaratungga yaitu Rakai Panangkaran pada masa pemerintahannya juga melakukan pembangunan candi yang besar yaitu Manjusrigrha (candi Sewu). Tampaknya tak cukup melihat proses masing-masing raja berkuasa dengan masing-masing candi yang dibangunnya, namun menilik dari fungsi tersebut sepertinya raja yang membangung dalam keadaan kesejahteraan yang baik, sehingga memiliki cukup waktu untuk memikirkan pembuatan candi ini.

FUNGSI CANDI BANYU NIBO
Dari data yang saya kumpulkan, bahwa candi ini merupakan rangkaian candi Ratu Boko, perlu saya tekankan kembali seperti penulisan post saya terdahulu mengenai Candi Ratu Boko agar penyampaian data ini link sehingga tidak terjadi kesalahan pemaknaan, bahwa candi Ratu Boko bukanlah sebuah keraton dari raja seperti yang terdapat dalam legenda Roro Jonggrang, dan bukan pula sebuah benteng pertahanan dari Bala Putra Dewa ketika menyerang Rakai Pikatan, melainkan sebuah candi tempat perabuan jenazah bagi para raja beserta kerabat utamanya, dinamakan Ratu Boko karena "boko" sendiri adalah "alam baka", alam kematian, dan ratu adalah raja/penguasa tinggi. 

Kaitannya candi Banyu Nibo terhadap Candi Ratu Boko adalah candi Banyu Nibo diperuntukkan sebagi tempat pemujaan air menjadi air paling suci (amertha)yang nantinya akan dipergunakan untuk mensucikan jenazah raja, layaknya seorang raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa yang turun dari kahyangan, ketika seorang raja wafat berarti sebuah proses pelepasan antara jiwa manusia ke jiwa asalnya yaitu dewa, walaupun dewa sekalipun karena memasuki penitisan manusia maka tetap akan kena kotoran jiwa layaknya manusia, dan untuk pembersihan kembali inilah diperlukan sebuah benda yang dapat mensucikan, yaitu air suci dan tak tanggung-tanggung air yang dipakai adalah air yang paling suci, dalam hal ini air Amertha lah yang dipilih, dan Candi Banyu Nibo lah yang menjadi tempat untuk pemujaan air amertha ini sebagai rangkaian ritual kepulangan sang Raja ke alam kaindran(alam Indra).

Dalam proses pemujaannya, air yang akan dipuja diletakkan disebuah tempat di belakang bangunan candi utama yang sekarang ini kita dapatkan berupa cekungan batu berbentuk bak penampungan, air yang sudah ditampung dari suatu tempat tersebut kemudian dilakukan pemujaan oleh para petinggi agama yang telah ditunjuk di pelataran candi, setelah pemujaan selesai dan air tersebut dianggap mencukupi sebagai air amertha maka proses berikutnya air tersebut di bawa ke Candi Ratu Boko untuk tahapan pensucian.
    
    Sesuai fungsi dari candi yang kita kenal sekarang ini sebagai candi Banyu Nibo, menurut sumber data saya mengatakan bahwa candi ini dahulunya di sebut sebagai "AMERTHA BAKA" yang berarti tempat pemujaan air paling suci untuk pensucian yang akan pergi ke alam kematian, sejauh ini bukti tertulis dari penyebutan amertha baka ini belum ditemukan, namun saya rasa hal tersebut saya yakini, mengingat sebutan "banyu nibo" adalah sebutan dalam bahasa jawa baru, sementara pembangunannya udah cukup lama.

Candi Lumbung

Candi Lumbung terletak beberapa ratus meter di sebelah Selatan Candi Sewu. Candi ini sudah masuk dalam wilayah Kabupaten Klaten, Surakarta. Tidak jelas apakah nama Lumbung memang merupakan nama candi ini atau nama itu hanya merupakan sebutan masyarakat di sekitarnya karena bentuknya yang mirip lumbung (bangunan tempat penyimpanan padi). Bangunan suci Buddha ini merupakan gugus candi yang terdiri atas 17 bangunan, yaitu satu candi utama yang terletak di pusat, dikelilingi oleh 16 candi perwara. Halaman komples Candi Lumbung ini ditutup hamparan batu andesit.
Candi utama, yang sendiri saat ini sudah tinggal reruntuhan, berbentuk poligon bersisi 20 dengan denah dasar seluas 350 m2. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Tangga dan pintu masuk terletak di sisi timur. Pintu masuk dilengkapi bilik penampil dan lorong menuju ruang dalam tubuh candi. Bagian luar dinding di keempat sisi dihiasi pahatan-pahatan gambar lelaki dan perempuan dalam ukuran yang hampir sama dengan kenyataan. Gambar pada dinding yang mengapit pintu masuk adalah Kuwera dan Hariti.
Pada dinding luar di sisi utara, barat dan selatan terdapat relung tempat meletakkan arca Dhyani Buddha. Jumlah relung pada masing-masing sisi adalah 3 buah, sehingga jumlah keseluruhan adalah 9 buah, Saat ini tak satupun relung yang berisi arca. Atap candi utama sudah hancur, namun diperkirakan berbentuk stupa dengan ujung runcing, mirip atap candi perwara. Di sekeliling halaman candi utama terdapat pagar yang saat ini tinggal reruntuhan.
Candi perwara yang berjumlah 16 buah berbaris mengelilingi candi utama. Seluruh candi perwara menghadap ke arah candi utama. Masing-masing candi perwara berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dengan denah dasar sekitar 3 m2. Dinding tubuh candi polos tanpa hiasan. Di sisi timur, tepat di depan pintu, terdapat tangga yang dilengkapi dengan pipi tangga. Di atas ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang bawah.
Atap candi perwara berbentuk kubus bersusun dengan puncak stupa. Setiap sudut kubus dihiasi dengan stupa kecil. Di ruang dalam tubuh candi perwara terdapat batu mirip tatakan arca yang disusun berjajar.

Sejarah Candi Ngawen (terkubur)

Candi Ngawen yang terletak di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang Jawa Tengah ini merupakan satu dari sekian banyak candi di Kabupaten Magelang yang bercorak Budha. Candi Ngawen memang masih kurang dikenal oleh masyarakat. Bahkan masyarakat Magelangpun hanya sedikit yang mengetahui keberadaannya. Jika ditinjau dari segi lokasi, Candi Ngawen terletak tidak jauh dari pasar Muntilan. Dari Jalan Pemuda Muntilan hanya sekitar satu kilometer ke selatan. Pendek kata, Candi Ngawen ini berada pada lokasi yang mudah dijangkau.
Pada awalnya Candi Ngawen ditemukan oleh Belanda . Kemudian oleh Belanda dipugar pada tahun 1911. Menurut catatan yang ada pada pos penjagaan, Candi Ngawen dibangun sekitar abad 8, tepatnya pada masa dinasti Syailendra (Budha) dan dinasti Rakaipikatan (Hindu). Candi ini termasuk dalam candi Budha meskipun dibangun oleh dua dinasti yang berbeda. Karena dibangun pada dua dinasti inilah Candi Ngawen dijuluki Candi Peralihan.
Candi Ngawen bila dipandang sekilas bentuk bangunannya nyaris mirip dengan bangunan candi Hindu. Hal ini disebabkan bangunan candi yang meruncing. Tetapi apabila diamati dengan seksama, candi ini memiliki stupa dan teras (undak-undak) yang menjadi simbol dalam candi-candi Budha. Selain bangunannya yang mirip dengan candi Hindu, bentuk bangunan Candi Ngawen memiliki sedikit banyak kesamaan dengan Candi Mendut. Candi Mendut yang merupakan rangkaian candi Budha sekitar 5 km dari situs ini.
Kompleks Candi Ngawen mencakup lima bangunan candi dengan letak berderet. Terdiri dari dua candi induk dan tiga candi apit. Candi induk merupakan candi utama, sedangkan candi apit adalah candi yang letaknya mengapit candi induk. Candi apit juga diartikan sebagai bangunan pendamping candi induk. Karena candi induk diapit oleh candi apit, letak dari candi induk ada pada bangunan kedua dan keempat.
Candi induk yang pertama merupakan satu-satunya candi yang masih lengkap diantara empat candi lainnya. Meski paling lengkap, sayangnya, stupa pada candi ini sudah pecah menjadi beberapa bagian sejak awal ditemukannya. Ini membuat stupa candi tidak dipasang dandiamankan dengan kata lain disimpan. Sebagai candi yang paling utuh, candi induk pertama itu memang paling banyak batu penyusunnya. Dengan tujuan pengamanan, pemerintah memperkuat sambungan batu tersebut dengan memberi lapisan semen. Adapun untuk batu asli yang rusak, terpaksa diganti dengan batu polosan. Batu polosan yang dimaksud adalah batu yang tidak ber-relief seperti aslinya.
Berbeda dengan candi induk pertama, kondisi candi induk kedua lebih parah. Sebab pada candi induk kedua tersebut begitu banyak batu penyusun yang pecah-pecah dan hilang. Stupanya bahkan juga hilang. Bila diprosentasekan hanya lima puluh persen saja batu yang masih layak pada bangunan keempat ini. Hal ini membuat bangunan keempat pada Candi Ngawen berdiri, tetapi tidak sempurna. Hanya berlantai namun tak beratap dan tak berdinding.
Di samping itu, batu-batu di pelataran candi tidak sebatas batu penyusun candi induk dan candi apit. Masih banyak lagi batu-batu lain yang ditemukan, namun tidak termasuk dalam batu penyusun candi induk dan apit. Batu-batu itu adalah batu lain yang hingga sekarang belum jelas arti dan fungsinya. Batu tadi ditata rapi di taman candi. Untuk memperindah pelataran candi, pihak pengelola menanami bunga-bunga indah, beserta kolam lengkap dengan bunga teratai di tengahnya.
Struktur fondasi empat candi perwara dari Candi Ngawen di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kini ambles sedalam 25-30 sentimeter. Selain karena gempa, kondisi ini juga dipicu oleh getaran-getaran lain, seperti erupsi Gunung Merapi dan lokasi candi yang berada di cekungan.
Kepala Seksi Pelestarian Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah Gutomo mengatakan, kondisi ini menyebabkan bangunan candi menjadi asimetris. “Karena antarbatu tidak memiliki perekat apapun, maka kondisi bangunan yang asimetris menyebabkan sebagian batu lepas dari susunannya semula,” ujarnya, Kamis (16/6). Meski demikian, candi tidak mengalami kerusakan serius.

Saat ini di bawah fondasi setiap candi perwara terdapat dua hingga tiga lapis batu yang runtuh. Satu lapis terdiri atas 60 batu.
Candi Ngawen terdiri atas lima candi perwara dan satu candi di antaranya kondisi baik karena sudah dipugar tahun 1980-an.
Menyikapi kondisi tersebut, maka empat candi perwara akan mulai diperbaiki secara bertahap. Petugas pelaksana pemugaran Candi Ngawen, Semi, mengatakan, mulai Rabu (15/6) perbaikan untuk satu bangunan candi perwara yang ambles dimulai.
“Pemugaran satu bangunan candi ini akan memakan waktu hingga 60 hari,” ujarnya. Pemugaran ini melibatkan 14 tenaga kerja. Pemugaran akan dilaksanakan dengan membongkar keseluruhan bangunan candid an membuat lapisan beton yang diperkuat dengan cor pelat, sebagai tempat penyusunan kembali batu-batu daro camdo bercorak Buddha peninggalan abad ke-8 tersebut. (EGI)

Sejarah Candi Mendut

 Candi Mendut  ialah sebuah candi agama Buddha yang terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Indonesia, beberapa kilometer dari candi Borobudur. Dibina oleh dinasti Syailendra, prasasti Karang tengah yang bertarikh 824 Masehi menyebut bahawa raja Indra membina bangunan suci ini dan menamainya sebagai venuvana, yaitu "hutan buluh".

Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

Seni bina candi

Candi Mendut tingginya 26.4 meter. Bangunan ini sebenarnya diperbuat daripada batu bata yang ditutupi dengan batu semulajadi. Candi ini terletak pada sebuah tapak asas yang tinggi supaya nampak lebih hebat dan agung. Di atas tapak asas ini, terdapat lorong yang mengelilingi bangunan candi. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke arah barat daya. Bumbung candi ini bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupakecil, dengan 48 buah daripadanya masih wujud.


Hiasan

Hiasan yang terdapat pada candi Mendut merupakan hiasan yang berselang-seling, termasuk ukiran-ukiran makhluk kayangan seperti kera dan burung elang. Pada kedua-dua sisi tangganya, terdapat ukiran timbul cerita Pancatantra dan Jataka. Dinding candi dihiasi ukiran timbulBodhisatva, antaranya Awalokiteswara, Maitreya, Wajrapāṇi, dan Manjusri. Pada dinding tubuh candi pula, terdapat ukiran timbul Kalpataru, duamalaikat, Harītī (seorang saksi yang bertaubat lalu mengikut Buddha), serta Āţawaka.
Di dalam candi induk, terdapat tiga buah arca Buddha yang besar, yaitu Buddha Śakyamuni, dengan tangan dalam bentuk dharmacakramudra (mudra ). Di depan arca Buddha, terdapat ukiran timbul berbentuk roda yang diapit oleh sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri pula, terdapat arca Padmapāņi dan di sebelah kanannya, arca Wajrapāņi. Kini di hadapan arca Buddha terletak dupa-dupa  dan keranjang untuk sumbangan. Para pengunjung boleh menyalakan dupa dan bersembahyang di sini.

Kronologi pemulihan

§  1836: Candi ditemukan dan dibersihkan.
§  1897 - 1904: Tapak asas dan tubuh candi diperbaiki namun hasil kurang memuaskan.
§  1908: Candi diperbaiki oleh Theodoor van Erp, dengan diubah elok.
§  1925: Sejumlah stupa diubah elok.

Vihara Buddha Mendut

Tepat di sebelah Candi Mendut, terdapat sebuah vihara Buddha yang dahulunya merupakan sebuah biara Katolik yang tanahnya kemudian diagih-agihkan kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibina vihara tersebut. Di dalam vihara ini, terdapat asrama, tempat ibadah, taman, serta beberapa patung Buddha. Beberapa patung tersebut adalah sumbangan dari Jepun (Jepang).

Relief-relief
Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief akan disajikan.

Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)

Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:

Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan.

Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat, hatinya nyaman.

Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.”

Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka.

Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana.

Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, <laksanakanlah> dengan segera.” 

Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.

Relief 2 (Angsa dan kura-kura)

Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:

Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru.

Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati.

Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina.

Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:
  
“Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya:
    
“Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.
    
Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian.
   
Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa.
    
Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.

Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing jantan.
    
Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu.
    
Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.

Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)

Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. 

Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.

Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)

Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.